Senin, 24 Januari 2011

Zuhud Pada Dunia

Selain setan dan hawa nafsu, penghalang manusia dalam menggapai mardatillah adalah dunia yang diciptakan-Nya ini. Allah SWT menyifati seluruh dunia sebagai kesenangan sesaat (QS An-Nisa:77), sesuatu yang sebentar, jika dinikmati adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan (QS Al-Hadid: 20).

Ibnu Iyad berujar, ''Seandainya dunia adalah emas yang akan sirna, dan akhirat hanyalah tembikar, tetapi akan kekal, maka kita wajib memilih yang kekal daripada yang fana.'' Selanjutnya dia berujar, ''Semua kebajikan disimpan dalam sebuah rumah dan kuncinya adalah zuhud di dunia, sedangkan seluruh kejelekan diletakkan di rumah lain dan kuncinya adalah cinta dunia.''

Bagaimana menyikapi dunia? Allah SWT memerintahkan dunia untuk menjadi pembantu bagi orang yang berorientasi kepada Allah semata. Sebaliknya, dunia adalah tuan bagi orang yang hanya berorientasi dunia belaka. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, ''Wahai dunia, siapa saja yang menolong-Ku bantulah dia, dan siapa yang melayanimu, jadikanlah dia sebagai pembantumu!''

Dunia tidak diciptakan sebagai tujuan, tetapi sebagai tempat berjalan bagi manusia, atau sebagai perantara untuk sampai pada rida Allah SWT. Maka dari itu, dia ibarat pelayan, dan pelayan akan bersifat rendah, tidak mungkin dinilai secara agung dan mulia.

Makna kezuhudan kita pada dunia adalah dengan berpaling darinya. Zuhud memunyai surah (contoh) dan hakikat. Surah zuhud, antara lain mencukupkan dan membatasi diri dari aneka ragam makanan, pakaian, dan perhiasan. Inilah yang dulu dilakukan Rasulullah dan sebagian besar sahabat beliau. Namun, ini bukan inti sebenarnya. Zuhud tidak lebih sebagai cara untuk membersihkan hati dari sifat keduniawian.

Dengan demikian hakikat zuhud adalah kesamaan pandangan dan sikap antara penerimaan dan berpalingnya manusia terhadap dunia. Tidak berbeda baginya antara ada dan tidak adanya kebahagiaan dunia di hadapannya. Dengan kata lain, zahid (ahli zuhud) akan merasa sama saat memakai baju seharga seratus ribu atau yang hanya berharga seribu. Jika hati dan perasaannya sama tatkala memiliki harta sejuta pada hari ini dan esoknya memiliki seribu, atau tidak memiliki sama sekali, maka dia zahid yang sebenarnya.

Jadi seorang zahid tidak harus miskin. Sebaliknya orang yang tidak punya harta belum tentu zahid. Terkadang seseorang tergolong fakir, tetapi dalam pandangan Allah termasuk ahli dunia, karena otaknya hanya memikir dan mengharap dunia, menghasud orang lain yang dikarunia rezeki, membenci, dan mendengki. Terkadang seseorang memunyai harta banyak, tetapi itu tidak membuatnya lupa. Bahkan, ia menafkahkannya di jalan Allah, menyedekahkannya dalam kebaikan, atau menggunakannya untuk kepentingan agama.
 republika
======



Tuliskan Komentar:


======

Zikir Tetapi Lupa

''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.'' (QS Al-Hasyr: 19).

Istilah zikrullah secara bahasa artinya adalah mengingat Allah. Sedangkan secara syar'i maksudnya adalah kesadaran Muslim sebagai makhluk Allah yang wajib untuk berpikir secara islami dan berbuat sesuai syariat Islam, baik dia sedang berdiri, duduk, berbaring, atau apapun. Apalagi jika sedang mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah: lailaha illallah!

Kesadaran ini menjadi ruh setiap perbuatan Muslim, dan membedakannya dengan orang kafir. Karena dengan kesadaran itu, seorang Muslim akan selalu terikat dengan syariat dan aturan Allah, sehingga dia isi kehidupan ini hanya dengan perbuatan yang mendatangkan pahala dan selalu berusaha meninggalkan perbuatan dosa. Tanpa kesadaran itu, seorang Muslim tidak ada bedanya dengan orang kafir.

Bisa jadi ketika seseorang menolong orang dengan hati baiknya dia mendapatkan nilai kemanusiaan. Dia melaksanakan ibadah atau meditasi, dengan hati beningnya dia mendapatkan nilai keruhanian. Dia bersikap jujur dan adil, dengan jiwa luhurnya dia memegang nilai moral. Namun dia tidak mendapatkan apa-apa dari Allah bila apa yang dilakukan itu tidak dia kaitkan dengan perintah Allah serta motivasi iman dan takwa. Dia tidak mendapatkan pahala, apalagi keridlaan-Nya.

Istilah ingat atau zikir kepada Allah selama ini sering salah kaprah. Hanya dibatasi dengan perbuatan mengucapkan kalimat-kalimat tahlil, takbir, tahmid, tasbih, istighfar, dan lain lain. Itupun tidak jarang berupa pelafalan tanpa makna. Karenanya, seorang Muslim sering mengucapkan kalimat thoyyibah, bahkan malah menjadi agenda rutin akan tetapi perbuatannya banyak melanggar perintah Allah.

Orang itu senang berzikir untuk mengingat Allah, tetapi lupa dan enggan dengan aturan Allah. Selain perbuatan sunnah mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah, paling banter dia melakukan perbuatan wajib yang termasuk ibadah ritual belaka seperti: shalat, puasa Ramadhan, zakat fithrah, dan pergi haji. Di luar itu, dia seolah lupa bahwa Allah punya aturan yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Walhasil, dia rajin berzikir dalam ibadah ritual saja, tetapi malas berzikir kepada Allah dalam dimensi-dimensi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, keuangan, politik, pertahanan, dan keamanan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad dalam aspek non ritual itu bukan wahyu, tapi kreasi sosial kultural beliau.

Orang seperti ini pun banyak meninggalkan perbuatan wajib dan sunnah di bidang non ritual, bahkan dengan tanpa rasa bersalah dan berdosa menerjang larangan-larangan Allah. Ini semua akibat berzikir tetapi lupa.
 republika.
======



Tuliskan Komentar:


======

Keadilan dan Hukum

Salah satu prioritas utama pemerintah yang baru saja dilantik adalah melawan korupsi dengan melaksanakan keadilan bidang hukum semaksimal mungkin. Tidak diragukan lagi, Islam menjunjung tinggi keadilan dan persamaan ini seperti dinyatakan dalam banyak ayat Alquran dan hadis Nabi SAW, ''Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil.'' (Al-Nahl: 90).

Nabi Muhammad SAW dalam kepemimpinannya secara cemerlang telah berhasil membangun suatu masyarakat berkeadilan, menjauhi segala bentuk dan cara-cara diskiriminasi. Dalam berbagai buku sejarah Nabi Muhammad disebutkan bahwa dalam menegakkan hukum beliau tidak membeda-bedakan antara kawan dan orang asing, yang kuat dan yang lemah, kaya dan miskin, kulit hitam dan putih. Beliau tidak membenarkan adanya hak-hak istimewa dimiliki segelintir orang, yang menjadikan mereka kebal terhadap hukum.

Nabi pernah bersabda, ''Sesungguhnya yang merusakkan orang-orang sebelum kamu adalah apabila ada di antara mereka yang berkedudukan mencuri (korupsi), mereka membiarkan saja tanpa memberikan hukuman. Tetapi, jika yang melakukan orang kecil (rakyat jelata), mereka mengenakan sanksi hukum.'' Sabda beliau ini dikemukakan ketika ada upaya untuk membebaskan hukuman seseorang yang melakukan kejahatan, hanya karena yang bersangkutan seorang bangsawan Quraish.

Sikap Nabi memang tidak pandang bulu, termasuk sanksi hukuman terhadap keluarganya sendiri. Seperti dinyatakan dalam sabda beliau, ''Andai kata putriku Fatimah mencuri, akan kupotong tangannya.''

Pernah terjadi ketika beliau menata barisan perang dalam Perang Badar, beliau mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari orang lain. Rasulullah menggunakan tongkatnya untuk menekan perut orang itu agar ia mundur sedikit ke belakangan, sehingga barisan akan menjadi lurus.

Prajurit itu berkata, ''Wahai Rasulullah, demi Allah tongkat ini menyakiti perutku, aku harus membalas.'' Rasul memberikan tongkatnya kepada prajurit itu dan membuka baju di bagian perutnya seraya berkata, ''Balaslah!'' Prajurit itu maju ke depan dan mencium perut Nabi. ''Aku tahu bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku ingin menyentuh tubuhmu yang suci.'' Belakangan ia menghambur ke depan dan gagah menyerang musuh dengan pedangnya hingga ia syahid.

Persamaan dan keadilan dalam Islam, tidak hanya sebatas yang ditetapkan dalam UU, tetapi juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya, ''Yang termulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertakwa.'' (Al-Hujurat: 13).

Pernah suatu ketika Umar Bin Khattab menghadiri sidang pengadilan. Begitu melihat kedatangan Khalifah Umar, kadi (hakim) yang memimpin sidang menunjukkan rasa hormat secara berlebihan padanya. Kepada sang hakim Umar mengatakan, ''Bila Anda tidak mampu memandang dan memperlakukan Umar dari orang biasa, sama dan sederajat, Anda tidak pantas menduduki jabatan hakim.''

Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, juga menentang keras segala bentuk diskriminasi hukum. Pernah suatu ketika ia memprotes seorang hakim, karena dia dipanggil dengan gelar Abul Hasan. Sementara lawannya disebut dengan sebutan biasa. Karena itu, dalam masa pemerintahan baru sekarang ini, di mana banyak harapan rakyat tertumpu, jangan lagi ada diskriminasi di bidang hukum dan keadilan. Wallahu a'lam. (Alwi Shahab)
 Sumber republika.
=====



Tuliskan Komentar:


======

Allah Beserta Kitakah?

Kisah sukses perebutan benteng oleh pasukan Khalid bin Walid merupakan pertolongan Allah kepada pasukan Islam karena mawas diri. Kegagalan pasukan Islam selama tiga bulan karena ''ada yang kurang'' dalam beribadah, sehingga Allah tidak kunjung beserta mereka dalam peperangan itu. Untuk itu, mereka memutuskan untuk berpuasa. Maka datanglah pertolongan Alah melalui anjing-anjing yang mencuri makanan sahur mereka. Subhanallah.

Kisah nyata berikut ini menunjukkan bahwa betapa Allah memberi pertolongan dari arah yang tidaak disangka-sangka kepada mereka yang berjuang di jalan-Nya dengan kepatuhan mutlak. Kisah terjadi saat perebutan Konstantinopel (Romawi Timur) oleh pasukan Turki. Hal ini terungkap berkat penelitian terhadap dua buah pulau di Samudra Pasifik.

Minggu, 23 Januari 2011

Apa Arti Kekayaan?

Sebuah diskusi kecil di dalam ruang kelas, terdiri atas beberapa anak-anak muda dan masih murni belum terkotori oleh debu-debu ribawi. Sebuah pertanyaan terlontar, “Apa jadinya bila seluruh orang yang ada di dunia ini diberikan oleh Allah SWT satu kilogram emas perorang?

Mereka dengan penuh tanda tanya dan merasa aneh menjawab “Ngga bakalan ada yang mau kerja”, “ngga bakalan ada yang jadi tukang sapu”, “ngga bakalan ada yang jadi sopir” tetapi ada satu jawaban smart yaitu, harga emas akan menjadi turun dan emas tidak akan berharga lagi. "Smart", saya bilang.

Pertanyaan kedua, “Apa jadinya bila Allah menjadikan semua orang dimuka bumi menjadi S-3 semua?” Ada banyak jawaban, “semua orang jadi pinter”, “semua akan jadi professor”, yang pasti harga pendidikan tidak akan semahal ini, bahkan boleh jadi ilmu begitu murahnya sehingga orang tidak merasa terhormat bila menyandang gelar S-3 lagi, karena tukang sapu pun bergelar S-3.

Jadi apa yang kita cari? Apakah kekayaan yang begitu banyak, ataukah gelar yang terhormat? Mengapa Allah SWT tidak menciptakan semua orang dimuka bumi menjadi kaya dan mengapakah Allah SWT tidak menjadikan manusia bergelar S-3 semua. Mengapa ada yang perlu menjadi tukang tambal ban, penjaga sekolah, menjadi tukang sapu, menjadi sopir, menjadi tukang ojek. Mengapa Allah SWT tidak mengangkat mereka semua menjadi Presiden Indonesia? Atau menjadi Sekjen PBB? Atau menjadikan mereka semua menjadi Perdana Menteri atau Kanselir?

Mungkin ini pertanyaan yang rada tolol, tapi pernahkah kita berpikir tentang hal ini? Ada apa dibalik semua ini? Bukankah bagi Allah SWT Maha Segalanya dan mudah bagi Allah menciptakan manusia menjadi Presiden semua dan mudah bagi Allah untuk menciptakan manusia ini menjadi Perdana Mentri semua. Tapi sudah sunnatullah ternyata Allah menginginkan manusia mengambil manfaat dari semua ini. Bila tak ada lagi tukang tambal ban, dapatkah kita bayangkan kesulitan yang akan terjadi yang menimpa kita? Bila tidak ada tukang sampah maka kita akan kebauan sampai berkilo-kilo meter, bila tidak ada yang menjadi tukang sapu maka apa jadinya lantai di rumah, kantor dan masjid serta tempat ibadah lainnya?

Pemilu 2004 menjadikan semua rakyat Indonesia berkeinginan menjadi presiden RI dengan segala cara. Ada yang lewat konvensional, meskipun sudah bebas dari ancaman terdakwa tetapi ambisi masih ada. Ada pula yang menjual diri kepada masing-masing partai untuk mengangkat dirinya menjadi presiden meskipun bukan orang partai. Ada pula yang asik berkoar-koar menarik konstituen partainya agar terpilih menjadi presiden dengan berbagai macam cara.

Apakah yang diinginkan oleh Allah SWT sebenarnya? Hanya satu yang diinginkan oleh Allah SWT dan keinginan Allah SWT tidak diterjemahkan secara benar oleh umat manusia sejak dari nabi Adam sampai Muhammad SAW, yaitu menyembah Allah, sujud kepada Allah adalah lebih baik daripada menjadi seorang Presiden RI, sujud kepada Allah adalah lebih baik daripada menjadi seorang ketua DPR RI, sujud kepada Allah akan menyebabkan derajat orang menjadi tinggi, bukan sebaliknya. Apabila semua orang sujud kepada Allah, harga sujud bukan semakin rendah seperti harga emas, akan tetapi dengan sujud kepada Allah, Allah justru membukakan pintu barakah bagi seluruh penduduk yang sujud kepada-Nya, sujud menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya dan tidak akan mengalami devaluasi.

Maukah kita sujud tengah malam dan mendoakan agar pemimpin kita adalah orang muslim, tidak berdusta, tidak khianat, tidak ingkar janji, tidak korupsi, tidak berzina, sejauh mana sujud kita kepada Allah telah merubah bangsa ini?
======


Tinggalkan Komentar:

======


Tinggalkan Comentar:
sumber : eramuslim

Apa Salahnya Menangis?

Apa salahnya menangis, 
jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).
Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
 Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.
 Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.
 Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83).
 Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
  Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)
   Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?.

Tinggalkan komentar:



-



Allah Juga kah Yang Mentakdirkan Manusia Dosa?




Ada sebuah wacana menarik ketika seorang anak muda melontarkan pertanyaan kepada seorang Ustadz.



“Ustadz, Allah jugakah yang mentakdirkan manusia dosa ?”, tanya pemuda itu membuka percakapan. 



“Manusia itu sudah diberi akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang berpahala dan mana yang dosa. Jadi manusia itulah pada hakekatnya yang mendhalimi dirinya sendiri, sehingga dia terjerumus dalam dosa”, jawab sang ustadz dengan senyum ramah di bibirnya.



“Jadi, kuncinya pada akal manusia ?”.


“Ya, justru itulah yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lain”.

“Lalu, siapa yang menggerakkan akal sehingga dia bisa memilih jalan sorga atau neraka ?”, anak muda itu terus mengejar dengan pertanyaan.

“Faktor utama kualitas output itu ditentukan oleh kualitas input. Itulah hukum dasar produksi; yang juga berlaku untuk akal kita. Analoginya, kalau bahannya cuma semen, pasir dan air, mustahil bagi kita untuk membuat ubin marmer. Ubin marmer inputnya ya marmer. Artinya, agar otak kita memutuskan jalan sorga, inputnya harus amal kebaikan. Misalnya pengajian, tartil Qur’an, majelis taklim, teman sholeh/sholekhah dan segala tuntunan Qur’an – Hadist.”

“Siapa yang menggerakkan hati sehingga mampu memilih input dengan kualitas surga ?”

“Allahlah Sang Muqollibal Qulub (Pembolak Balik Hati)”, jawab Sang Ustadz dengan mantap.

“Jadi artinya Allah penentu “input surga” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia mampu memilih jalan ke surga. Allah juga penentu “input neraka” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia memilih jalan dosa. Bisakah saya menyimpulkan bahwa Allah juga yang menentukan manusia dosa ?”,

Si anak muda tadi berusaha menyimpulkan dari obrolan dengan sang ustadz.

Sang ustadz hanya tersenyum dengan kerut didahinya. Ia lalu mengatakan, "Demi Allah; tidak ada selembar daun keringpun yang jatuh tanpa izin-Nya. Tidak ada setetes darahpun yang mengalir dalam tubuh ini tanpa izin-Nya. Tidak ada kematian seserat neuronpun di otak kita tanpa seizin-Nya. Tidak ada setitik pikiran dan seucap katapun yang sanggup dilontarkan manusia tanpa seizin-Nya. Allahlah yang memberi hidayah manusia sehingga suatu kebaikan ringan dia kerjakan."

Mari ikuti beberapa uraian berikut. Shalat sudah menjadi kebutuhan, ucapan santun menjadi trade mark dan ibadah apapun terasa nikmat. Namun kadang kondisi ini membuat manusia makin lalai. Bukan lalai pada Tuhannya, tapi yang paling sering adalah lalai pada saudara sesama muslimnya. Dia berfikir bahwa orang setingkat dia harus hidup dengan komunitasnya. Dia takut kalau orang yang keimanannya dibawahnya, atau jauh dibawahnya akan memberi dampak negatif bagi perkembangan rohaninya. Walhasil, dia hanya hidup di kalangan komunitas exclusive bikinannya sendiri. Kalau kondangan saja, dia selalu ngumpul sesama “jalur” dan tidak membaur. Sukanya mengorek kekurangan kelompok lain dan merasa diri/kelompoknyalah yang paling hebat.

Inilah sisi lain yang dengan kasih sayang-Nya, Allah berusaha mengubah dengan “takdir lain”. Dia takdirkan dosa dengan apapun penyebab yang mungkin. Shalat tahajjud sampai kelelahan dan tertidur sebelum adzan subuh. Akhirnya terbangun Jam 06.30 pagi.. Langsung mandi, berangkat kerja dan tidak sempat lagi shalat subuh. Dapat sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Ibarat dapat tambal baju, tapi tidak pakai baju. Karena amalan sunnah itu hanyalah amalan tambahan sebagai tambal bolongnya amalan wajib. Bolong karena kurang ikhlas, riya’ atau hal lain.

Mari kita lihat saudara-saudara kita yang sedang dijalur “kurang beruntung”. Pekerjaan utama sebagai penjaja tubuh. Dapat duit untuk judi sambil minum-minuman keras. Setelah duitnya habis dia “jualan” tubuh lagi. Begitulah kesehariannya dia jalani dengan normal menurut ukurannya sendiri. Tidak ada kata dosa.

Duapuluh tahun berikutnya ketika usianya menginjak empatpuluhan, nilai jualnya sudah turun drastis. Persaingan makin ketat dengan munculnya “daun-daun muda” baru. Cari duit sudah sulit. Badanpun mulai sakit-sakit. Setelah di-cek ke dokter, ternyata kena AIDS. Hari demi hari tubuhnya kian kurus.

Detik demi detik dari setiap sisa nafasnya hanyalah untuk menanti kereta kematian. Dia terhenyak, “kepada siapa lagi aku minta pertolongan ?” Akhirnya dengan rasa malu dia menyebut sebuah nama yang sudah terkubur selama duapuluh tahun. “Allah……….Allah……….Allah……”, mulutnya gemetaran menyebut dengan air mata meleleh penuh ketulusan. Dia yakin se-yakin yakinnya hanya Allahlah yang sanggup menolong. Sajadahpun dia cari lalu digelar untuk shalat, taubat dan taubat. Tak ada sedikitpun kesombongan terbesit dihatinya. Karena memang tidak ada yang pantas dia sombongkan dihadapan siapapun. Dosanya menumpuk sedang amal sorganya baru dia mulai. Inilah sisi yang lebih “lain” lagi sehingga Allah mengubah takdirnya. Dari sesat menjadi hidayah. Subhanallah.

Dari kedua contoh yang saling bertolak belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa takdir Allah itu adalah tuntutan kasih sayang-Nya. Dia Maha Tahu dengan cara apa Dia membuat manusia berjalan di trotoar yang benar dalam ukuran-Nya. Semuanya bertujuan agar sang mahluk tunduk pada Sang Khalik dengan setunduk-tunduknya. Penuh keihlasan. Ikhlas dengan tujuan hanya kepada Allah. Bukan hanya untuk mencari popolaritas ditengah-tengah manusia, karena namanya memang sudah miring dalam pandangan manusia.

Perbaikan demi perbaikan tidaklah berarti lagi dimata manusia. Lalu kepada siapa dan kepada siapa lagi dia harus minta pertolongan ? Inilah titik kulminasi kepasrahan yang diciptakan Allah pada sang hamba agar dia benar-benar kembali ke pangkuan-Nya. Dengan demikian pertolongan dan keagungan Tuhan bukan hanya sekedar kalimat-kalimat puisi, lagu atau nyanyian tapi lebih dari itu; dia akan rasakan dengan sepenuh hati. Kesimpulannya bahwa Allah tidak akan menjatuhkan takdir dengan sia-sia.

Dengan kasih sayang-Nya, tidak ada satupun dari takdir-Nya yang merugikan manusia. Semua bertujuan agar manusia kembali ke pangkuan-Nya dengan kesucian karena dia berangkat ke dunia dengan kesucian pula. Semua bertujuan agar manusia benar-benar sepenuhnya bergantung pada-Nya, sehingga tidak ada kemusyrikan dihatinya, walaupun sebesar zarrah. 

Kupersembahkan buat semua sahabat muslim / muslimahku di seluruh dunia,
=======


Tinggalkan Komentar:

=======

ADIL SAJA TIDAK CUKUP

Untuk apa anda bekerja? Itu pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab, karena banyak faktor yang menyebabkan orang untuk meredefinisi dan mencari argumentasi setiap jawaban yang bakal keluar dari mulutnya, atau setidaknya hinggap dibenaknya. Banyak hal yang melatarbelakangi niat seseorang dalam bekerja, jika mengikuti teori Maslow, mulai dari kebutuhan terendah seperti makan (dan kebutuhan fisiologis lainnya), status sosial sampai kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan seringkali jawaban-jawaban yang keluar atas pertanyaan tadi, adalah realita yang melatarbelakangi kualitas pekerjaan seseorang.

ADA APA DENGAN KITA

Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.

Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan sholat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.

Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.

Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar ditelinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga, tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman.

Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita? Wallahu a'lam bishshowaab. (Bayu Gautama)
*sumber : eramuslim
==========


Tulis Komentar: